Rabu, 14 Mei 2014

MATA KENANGAN



“Namaku Sinai… Ibuku bernama Maryam, Ayahku Yusuf. Kau pasti heran. Aku tahu, semua orang bakal heran bila mendengarnya, kecuali orang tuaku sendiri,” katanya tanpa beban.
Kesan tentangnya yang selalu melekat hingga saat ini, adalah kalimat itu. Kalimat yang mengalir tanpa beban, dihantarkan oleh angin, mengetuk not-not nada di gendang telingaku. Aku tidak pernah melupakannya, biarlah kusebut kalimat itu sebagai kenangan. Sebab, bukan lagi kenangan jika telah terlupakan.    
Sinai, mirip nama bukit suci, tempat Musa pertama kali memutlakkan perjanjian dengan Tuhannya. Nama itu adalah isyarat, ada hasrat orang tuanya untuk menjadikannya anak yang suci, sesuci Bukit Sinai dan berjanji untuk taat dan patuh padaNya dan padanya. Mungkin alasan itu, ibunya mewariskan mata indahnya agar melanjutkan harapan dan citanya, yang kemudian aku sebut sebagai kenangan kedua sejak mengenalnya. Mata indah itu, aku telah mengabadikannya dalam gambar, kupajangnya di dinding kamarku, berharap masih mengawasinya seperti dahulu.
 “Ibumu lahir dan besar di mana, hingga dia bisa mewariskan mata seindah itu?” tanyaku tempo hari. Lalu dia menjawab bahwa saat ibunya meninggal, ia belum cukup umur untuk mengerti bahasa. Dan, iapun bercerita perihal Ayahnya yang kerap menceritakan pertemuan pertama dengan Ibunya. Katanya, Sang Ayah adalah seorang pelaut yang pandai berlayar. Mana saja ada nyiur melambai di situlah tempat yang ia tuju. Tempat Ibunyalah yang paling banyak melambaikan nyiur dan memanggil-manggil Ayahnya. Aku simpulkan, tentu Ibunya tinggal di pesisir pantai. Dia gadis pantai saat Ayahnya bertemu dan memutuskan untuk meminangnya.

***
“Sinai, apakah kau menyayangiku?” pertanyaan yang ia jawab dengan anggukan tanpa memalu. “Bisakah kau membuktikan rasa sayangmu?” pertanyaan yang ia jawab dengan gelengan tanpa ragu. “Terus bagaimana caranya kau menyayangiku tanpa bukti?” kali ini ia jawab dengan senyum tanpa gula, tetapi manis.
Pertanyaanku memang sederhana, tapi bukan berarti aku harus menerima jawaban yang sangat sederhana; anggukan, gelengan dan senyuman.
Aku mendesak dengan mengajaknya berdiskusi tentang logika. “Segala sesuatu harus disertai bukti, karena tanpa bukti semuanya akan gelap dan tidak bernilai empiris. Tahukah kau apa itu empiris? Sesuatu yang bisa dilihat. Dapat dibuktikan, begitulah! Bila sesuatu tidak dapat dibuktikan, itu namanya bukan ilmiah. Kau tahu apa itu yang bukan ilmiah? Sesuatu yang tidak dapat dibuktikan. Jadi itu itu tidak logis kalau rasa sayangmu ada dan tidak dapat dibuktikan!” jelasku panjang, berputar-putar, namun kuharap ia mengerti.
“Kalau rasa sayang ada di kepala, baru bisa dibuktikan. Sayangnya, rasa sayang itu ada di sini” katanya sambil memegang dada. “Tahukah kau kerja otak dan perasaan sayang?”
Mendengarnya, membuatku seperti si miskin yang hendak  membeli berlian. Meski kalimatnya sederhana, namun terlalu mahal untuk aku tebus. Kalimat yang berhasil meruntuhkan benteng pertahanan jiwaku. Tak mampu lagi aku merangkai kata walau tertatih. Padahal yang aku takuti adalah kehilangan kata.
Karena kata, aku dapat melawan. Karena kata, aku dapat bercerita tantang malamku yang merindu. Karena kata, aku bisa jujur dan bohong padamu. Karena kata aku bisa mengombalnya. Bukankah gombal adalah kombinasi jujur dan bohong dalam satu piring cinta, yang kemudian disantap berdua?

***
Heran juga awalnya. Tiba-tiba bola matamu hadir menjadi daftar favorit nomor urut satu tiap khayal dan mimpiku akhir-akhir ini. Entah, darimana asalnya. Padahal aku sering memakai jaket agar pori-pori kulitku tidak banyak menyerap angin yang membawa benih rindu yang akan tumbuh di dalam perasaaan.
Hidupku terasa terisi irisan rasa sayang yang kerap menguras senyum meski dalam kesendirian. Sesekali surga sangat terasa dekat bila senyummu menyungging di lintasan khayal. Harus aku akui, bahwa kau telah hadir mengisi relung-relung hidupku. Walaupun aku tidak pernah mendengar kata cintamu. Parahnya lagi, aku sama sekali tidak tahu siapa namamu.
Terkadang aku tertawa seorang diri, lalu meyumpahi kebodohanku yang tidak pernah berani bertanya siapa namamu, tetapi berani memandangi mata indahmu. Aku takut seperti ini. Takut tidak berdaya melawan sihirmu. Takut tidak mampu membuatmu tersanjung dengan cerita bulan purnama, yang kesimpulannya, ada rindu dariku, untukmu.
Selalu saja, percakapan kita hanya pada lintasan khayal. Selalu saja seusai pertemuan tanpa suara, aku membawa pulang kenangan tentang mata indahmu, dan tanpa tahu namamu. Dan, rindu selalu saja mendekat. Rindu pertemuan. 
Izinkan aku berceloteh. Tapi bersediakah kau mendengarkanku? Bila tidak, cukuplah kau dengarkan desiran angin, karena semalam aku telah berpesan padanya, agar menyampaikan kalimat rindu padamu melalui saluran pernafasan.
Oh iya… Kepada angin aku sangat berterima kasih, tanpanya, bau pafummu tak akan kukenal.
Apakah kau masih ingat, suatu sore saat bau parfummu menyeruak masuk ke lubang hidungku. Aku berbalik seketika dan menyusuri jejak angin dan membiarkan menuntunku selanjutnya.
“Hai kak!” katamu menyapaku seketika. Aku gugup. “Aku sering liat kakak di kampus,” sambungmu. 
“Iya, aku juga. Oh iya, namamu siapa?” kalimatku pecah seperti balon yang tak mampu lagi menahan udara.    
“Sinai, kak. Namaku Sinai… Ibuku bernama Maryam, Ayahku Yusuf. Kau pasti heran. Aku tahu, semua orang bakal heran bila mendengarnya, kecuali orang tuaku sendiri,” katamu tanpa beban waktu itu.
Namamu cukup indah, seindah dirimu. Kesan pertama yang sangat sulit aku lupakan. Saat itu, aku telah mengetahui namamu yang selalu kureka; Aisyiyah, Khadijah, Indah, Nilam, Ana, Rahma, dan banyak nama perempuan lagi. Mungkin itulah salah satu alasan, hingga aku memutuskan untuk kagum.

***
“Kau sayang padaku?”
Kau kaku. Angin tidak bisa lagi mengantarkan kalimat rinduku melalui pernafasanmu. Mata indahmu tertutup dan hanya menjadi kenangan. Dan, betul katamu, cinta bersemanyam di dada. Aku terlambat memahaminya.
Meski kali ini aku telah menemukan dirimu, tapi aku telah kehilangan diriku. Kau membawanya pergi tanpa pangkal pulang dan hanya menyisakan rindu. Kini, tak akan kubiarkan rinduku berlabuh dari kerinduannya. Sebab rindulah yang mengawetkan kenangan agar enggan menjadi lupa.

0 komentar:

Posting Komentar