“Namaku Sinai… Ibuku bernama Maryam, Ayahku Yusuf. Kau pasti heran.
Aku tahu, semua orang bakal heran bila mendengarnya, kecuali orang tuaku
sendiri,” katanya tanpa beban.
Kesan tentangnya yang selalu melekat hingga
saat ini, adalah kalimat itu. Kalimat yang mengalir tanpa beban, dihantarkan
oleh angin, mengetuk not-not nada di gendang telingaku. Aku tidak pernah
melupakannya, biarlah kusebut kalimat itu sebagai kenangan. Sebab, bukan lagi
kenangan jika telah terlupakan.
Sinai, mirip nama bukit suci, tempat Musa
pertama kali memutlakkan perjanjian dengan Tuhannya. Nama itu adalah isyarat,
ada hasrat orang tuanya untuk menjadikannya anak yang suci, sesuci Bukit Sinai
dan berjanji untuk taat dan patuh padaNya dan padanya. Mungkin alasan itu,
ibunya mewariskan mata indahnya agar melanjutkan harapan dan citanya, yang
kemudian aku sebut sebagai kenangan kedua sejak mengenalnya. Mata indah itu,
aku telah mengabadikannya dalam gambar, kupajangnya di dinding kamarku,
berharap masih mengawasinya seperti dahulu.
“Ibumu
lahir dan besar di mana, hingga dia bisa mewariskan mata seindah itu?” tanyaku
tempo hari. Lalu dia menjawab bahwa saat ibunya meninggal, ia belum cukup umur
untuk mengerti bahasa. Dan, iapun bercerita perihal Ayahnya yang kerap
menceritakan pertemuan pertama dengan Ibunya. Katanya, Sang Ayah adalah seorang
pelaut yang pandai berlayar. Mana saja ada nyiur melambai di situlah tempat
yang ia tuju. Tempat Ibunyalah yang paling banyak melambaikan nyiur dan
memanggil-manggil Ayahnya. Aku simpulkan, tentu Ibunya tinggal di pesisir
pantai. Dia gadis pantai saat Ayahnya bertemu dan memutuskan untuk meminangnya.
***
“Sinai, apakah kau menyayangiku?” pertanyaan
yang ia jawab dengan anggukan tanpa memalu. “Bisakah kau membuktikan rasa
sayangmu?” pertanyaan yang ia jawab dengan gelengan tanpa ragu. “Terus
bagaimana caranya kau menyayangiku tanpa bukti?” kali ini ia jawab dengan
senyum tanpa gula, tetapi manis.
Pertanyaanku memang sederhana, tapi bukan
berarti aku harus menerima jawaban yang sangat sederhana; anggukan, gelengan
dan senyuman.
Aku mendesak dengan mengajaknya berdiskusi
tentang logika. “Segala sesuatu harus disertai bukti, karena tanpa bukti
semuanya akan gelap dan tidak bernilai empiris. Tahukah kau apa itu empiris?
Sesuatu yang bisa dilihat. Dapat dibuktikan, begitulah! Bila sesuatu tidak
dapat dibuktikan, itu namanya bukan ilmiah. Kau tahu apa itu yang bukan ilmiah?
Sesuatu yang tidak dapat dibuktikan. Jadi itu itu tidak logis kalau rasa
sayangmu ada dan tidak dapat dibuktikan!” jelasku panjang, berputar-putar,
namun kuharap ia mengerti.
“Kalau rasa sayang ada di kepala, baru bisa
dibuktikan. Sayangnya, rasa sayang itu ada di sini” katanya sambil memegang
dada. “Tahukah kau kerja otak dan perasaan sayang?”
Mendengarnya, membuatku seperti si miskin yang
hendak membeli berlian. Meski kalimatnya
sederhana, namun terlalu mahal untuk aku tebus. Kalimat yang berhasil
meruntuhkan benteng pertahanan jiwaku. Tak mampu lagi aku merangkai kata walau
tertatih. Padahal yang aku takuti adalah kehilangan kata.
Karena kata, aku dapat melawan. Karena kata,
aku dapat bercerita tantang malamku yang merindu. Karena kata, aku bisa jujur
dan bohong padamu. Karena kata aku bisa mengombalnya. Bukankah gombal adalah
kombinasi jujur dan bohong dalam satu piring cinta, yang kemudian disantap
berdua?
***
Heran juga awalnya. Tiba-tiba bola matamu
hadir menjadi daftar favorit nomor urut satu tiap khayal dan mimpiku
akhir-akhir ini. Entah, darimana asalnya. Padahal aku sering memakai jaket agar
pori-pori kulitku tidak banyak menyerap angin yang membawa benih rindu yang
akan tumbuh di dalam perasaaan.
Hidupku terasa terisi irisan rasa sayang yang
kerap menguras senyum meski dalam kesendirian. Sesekali surga sangat terasa
dekat bila senyummu menyungging di lintasan khayal. Harus aku akui, bahwa kau
telah hadir mengisi relung-relung hidupku. Walaupun aku tidak pernah mendengar
kata cintamu. Parahnya lagi, aku sama sekali tidak tahu siapa namamu.
Terkadang aku tertawa seorang diri, lalu
meyumpahi kebodohanku yang tidak pernah berani bertanya siapa namamu, tetapi
berani memandangi mata indahmu. Aku takut seperti ini. Takut tidak berdaya
melawan sihirmu. Takut tidak mampu membuatmu tersanjung dengan cerita bulan
purnama, yang kesimpulannya, ada rindu dariku, untukmu.
Selalu saja, percakapan kita hanya pada
lintasan khayal. Selalu saja seusai pertemuan tanpa suara, aku membawa pulang
kenangan tentang mata indahmu, dan tanpa tahu namamu. Dan, rindu selalu saja
mendekat. Rindu pertemuan.
Izinkan aku berceloteh. Tapi bersediakah kau
mendengarkanku? Bila tidak, cukuplah kau dengarkan desiran angin, karena
semalam aku telah berpesan padanya, agar menyampaikan kalimat rindu padamu
melalui saluran pernafasan.
Oh iya… Kepada angin aku sangat berterima kasih,
tanpanya, bau pafummu tak akan kukenal.
Apakah kau masih ingat, suatu sore saat bau
parfummu menyeruak masuk ke lubang hidungku. Aku berbalik seketika dan
menyusuri jejak angin dan membiarkan menuntunku selanjutnya.
“Hai kak!” katamu menyapaku seketika. Aku
gugup. “Aku sering liat kakak di kampus,” sambungmu.
“Iya, aku juga. Oh iya, namamu siapa?”
kalimatku pecah seperti balon yang tak mampu lagi menahan udara.
“Sinai, kak. Namaku Sinai… Ibuku bernama
Maryam, Ayahku Yusuf. Kau pasti heran. Aku tahu, semua orang bakal heran bila
mendengarnya, kecuali orang tuaku sendiri,” katamu tanpa beban waktu itu.
Namamu cukup indah, seindah dirimu. Kesan
pertama yang sangat sulit aku lupakan. Saat itu, aku telah mengetahui namamu
yang selalu kureka; Aisyiyah, Khadijah, Indah, Nilam, Ana, Rahma, dan banyak
nama perempuan lagi. Mungkin itulah salah satu alasan, hingga aku memutuskan
untuk kagum.
***
“Kau sayang padaku?”
Kau kaku. Angin tidak bisa lagi mengantarkan
kalimat rinduku melalui pernafasanmu. Mata indahmu tertutup dan hanya menjadi
kenangan. Dan, betul katamu, cinta bersemanyam di dada. Aku terlambat
memahaminya.
Meski kali ini aku telah menemukan dirimu,
tapi aku telah kehilangan diriku. Kau membawanya pergi tanpa pangkal pulang dan
hanya menyisakan rindu. Kini, tak akan kubiarkan rinduku berlabuh dari
kerinduannya. Sebab rindulah yang mengawetkan kenangan agar enggan menjadi
lupa.
0 komentar:
Posting Komentar