Hari ini, hujan
pertama kembali menyapa Oktober. Ana duduk di teras rumahnya. Mengurai rintik
hujan yang telah menjadikannya manusia. Ia mengingat cerita Ibunya, tentang
kelahirannya di bulan Oktober, tepat saat hujan pertama membasahi tanah-tanah
kering yang dijajah kemarau. Kata Ibunya, Ana mengiak-ngiak ketika hujan
memukul-mukul atap rumah. Lalu, dukun beranak berkata, “Sepertinya, anakmu
diciptakan dari hujan.” Dari cerita itulah, Ana selalu mengira, dirinya akan kembali
menjadi hujan.
Ana terus
mengurai rintik hujan dengan matanya. Baginya, hujan berasal dari rahim awan,
berbutir-butir bak selonsongan peluru yang menyerang. Bersebaran mencari
mangsa, namun terjatuh ke bumi, ditarik gravitasi.
Sayangnya, saat menyentuh tanah, hujan tidak mau lagi menjadi hujan. Dipilihnya
menyatu dan menjadi air, lalu bergegas menuju sungai, menempuh perjalanan
panjang ke muara, dan bersatu dengan rekannya di lautan.
Hujan sangat
benci berada di bumi yang panas. Hujan tak ingin mendidih. Itulah sebabnya,
saat matahari kembali bersinar, hujan-hujan memohon agar dirinya dikembalikan
ke rahim awan.
Mengurai hujan,
sama halnya mengurai kenangan yang bentuknya seperti hujan. Berbutir-butir bak
selonsongan peluru yang menyerang, tepat di dada. Perih. Begitulah Ana. Ketika
ia kembali mengingat pertemuannya dengan seorang lelaki. Lelaki yang selalu
meyakinkannya tentang tangisan bulan yang berubah menjadi hujan. Jika Ana
kembali mengingat hal tersebut, sesak di dadanya tak tertahankan. Tetapi
bukanlah kenangan jika telah terlupakan.
###
Lelaki muda,
berkumis tipis, berbadan tegap, umurnya sekira dua tahun lebih tua dari Ana, datang
dalam serangan hujan di suatu sore. Ana tak bergeming, hanya memandangi lelaki
itu saat sedang memeriksa barang bawaannya yang basah terserang hujan. Setelah
memeriksa, lelaki itu menyapa dengan senyum, Ana membalasnya dengan senyum
pula. Mereka hanya berdua di tempat itu, teras rumah milik seseorang.
“Mengapa Nona
berteduh saat ini, padahal telah membawa payung?” tanya lelaki itu. Ia heran
melihat Ana berteduh sambil memakai payung.
“Ini adalah benteng
pertahanan saya,” Ana menjawab sekenanya. Lelaki itu mengernyitkan dahi.
“Iya, saya tahu.
Payung adalah pertahanan tiap manusia agar tidak terserang hujan. Ibarat kata
pepatah, sedia payung sebelum hujan. Begitukan? Tetapi maksud saya, mengapa
tidak berlalu saja, kan punya payung. Saat sore usai, hari akan menjadi gelap.
Kamu tidak takut?”
“Saya lebih
takut hujan, ketimbang gelap,” Ana menjawab dan memandang mata lelaki itu
sambil tersenyum.
“Perempuan takut
hujan? Saya baru dengar hal semacam itu. Biasanya, perempuan lebih suka hujan,
sebab lebih romatis,” Lelaki itu mencoba bergurau dan mengakrabkan diri.
“Hujan-hujan ini,
ingin menjemputku. Mereka ingin, aku kembali menjadi hujan,” Ana memberi
penjelasan sambil tersenyum. Lelaki itu bingung, tidak percaya apa yang
ditangkap oleh gendang telinganya. Ingin rasanya ia memperjelas maksud perempuan
yang berada di sampingnya itu. Namun, hujan telah berhenti, Ana pun telah
berlalu.
Lelaki itu
berteriak dan meminta Ana berhenti sejenak. Ia memburu. “Siapa namamu?” tanyanya
setiba di dekat Ana. “Tragedi Oktramuliana, dipanggil, Ana. Kamu?” Ana menjawab
dan balik bertanya.
“Saya Rusli.
Bisakah kita berjalan bersama?”
“Boleh. Mampir
ke rumah juga boleh. Rumah saya, di ujung lorong ini. Saya lihat kamu
kedinginan. Biar saya buatkan teh panas,” Ana menawarkan. Lelaki itu, sempat
berbasa-basi untuk menolak, namun dalam benaknya, ia ingin Ana mempertahankan
tawarannya. Dan betul, Ana menawarkan lebih dari dua kali, ia pun mengiyakan.
Keduanya berjalan beriringan dalam satu payung.
“Tadi kamu
bilang, Hujan ini akan menjemputmu,” lelaki itu memulai percakapan saat teh diletakkan
di meja.
“Iya. Itu
panjang ceritanya,” ucap Ana.
“Betulkah, kamu
akan menjadi hujan? Sayang, perempuan secantik ini, berubah menjadi hujan”
Lelaki itu menelisik sekaligus mengeluarkan kalimat gombal.
“Mungkin saja.
Saya belum tahu persis. Tetapi, ibuku menceritakannya dengan sangat yakin,
berdosalah saya ini, bila tidak percaya dengan keyakinan ibu,” kata Ana.
Lelaki itu
mendesak Ana untuk menceritakan kejadian yang sesungguhnya. Ana pun bersedia.
Diceritakanlah perihal kelahirannya. Persis yang diceritakan oleh ibunya.
Saat hujan
pertama bulan Oktober membasahi tanah yang dijajah kemarau, Ana mengiak-ngiak
dan hujan memukul-mukul atap. Mereka ingin menjemput perempuan hujan pertama
itu. Dukun beranak pun memberi titah, “Mandikan anakmu dengan air yang mendidih
untuk menghilangkan zat hujannya. Jika tidak, hujan akan membawa anakmu pergi.”
Sejak itulah,
hujan takut berlama-lama di bumi yang panas. Panas bumi akan mendidihkan hujan
ataukah dipanasi oleh ibu Ana, dan hujan tak ingin mendidih. Hujan lebih
memilih ke laut, memohon kepada matahari agar dikembalikan ke rahim awan.
Lelaki itu takjub dengan cerita Ana. “Jadi
kamu betul-betul akan kembali menjadi hujan? Lalu apa fungsi payung itu?”
Lelaki itu semakin penasaran.
“Ini adalah
benteng pertahananku. Agar hujan tidak menyentuhku. Jika hujan menyentuhku,
boleh saja dia akan membawa sedikit demi sedikit kulitku, hingga pupus menjadi
air, lalu membawanya ke laut dan siap untuk dikembalikan ke rahim awan. Dan,
matahari telah bersekongkol dengan hujan. Boleh jadi, bila sinarnya menyapa di
siang hari, ia akan menguapkanku tiba-tiba dan mengembalikannya ke rahim awan.
Olehnya, saya akan selalu memakai payung saat terik matahari dan hujan,” ungkap
Ana. “Itulah sebabnya, warga sekitar sini memanggilku, perempuan payung,”
sambungnya.
“Matahari
bersekongkol dengan hujan? Perempuan payung? Aneh. Lalu, bagaimana jika banjir
hujan? Kamu tidak akan melangkah ke mana-mana?”
“Jika hujan telah
menyentuh tanah, dia bukan lagi hujan. Ia telah menyatu dan menjadi air.
Tetapi, jika ia tidak dipanasi sebelum sampai ke laut, maka ia akan kembali
menjadi hujan di rahim awan. Lalu kembali ke sini, mencariku. Semuanya berkat
bantuan matahari yang mengangkatnya kembali,” katanya. “Selama saya masih ada
di bumi ini, maka hujan akan terus menyerang. Ia akan datang berbutir-butir bak
selonsongan peluru. Beterbangan mencari mangsa dan gravitasi bumilah yang akan menariknya ke tanah, hingga ia menjadi air
kembali” Ana menyambung. Kali ini dengan nada sesal. Air matanya menetes.
“Saya akan
melindungimu,” ucap lelaki itu seketika.
“Tidak. Tidak.
Tidak ada yang bisa melindungi. Cepat atau lambat, saya akan menjadi hujan,”
Ana menangis sedih.
“Akan saya buktikan,
jika saya mampu menjadi benteng pertahananmu untuk memerangi hujan,” lelaki itu
meyakinkan Ana.
###
Hari ini, hujan
pertama kembali menyapa Oktober. Ana duduk di teras rumahnya. Mengurai rintik
hujan yang telah menjadikannya manusia. Ia mengingat cerita Ibunya, tentang
kelahirannya di bulan Oktober, tepat saat hujan pertama membasahi tanah-tanah
kering yang dijajah kemarau. Saat itu pula, ia mengigat tepat setahun
pertemuannya dengan lelaki yang siap melindunginya dari serangan hujan. Lelaki
yang kerap menceritakan kisah-kisah tentang hujan, salahsatunya kisah tentang tangisan
bulan menjelma jadi hujan.
Konon, telah hidup
sepasang kekasih yang saling mencintai. Mereka telah berkomitmen untuk saling
setia, apapun yang terjadi. Namun, suatu saat lelaki meminta izin untuk
meninggalkan kampung halaman ke negeri seberang, untuk mencari penghidupan yang
layak, jika telah ia dapatkan, maka lelaki itu akan kembali dan meminang
perempuannya, berniat hidup dengan bahagia.
Sebelum pergi,
lelaki itu berpesan, jika perempuannya hendak mendengar kabarnya, bertanyalah
pada angin di sore hari, niscaya angin tersebut telah dititipkan kabar
tentangnya. Dan, jika perempuannya hendak melihat dirinya, tataplah bulan yang
bersinar sempurna, nicaya bulan akan memantulkan segala tentangnya. Pesan itu,
dijunjung kuat oleh perempuannya.
Namun, lama juga
perempuan itu menunggu kabar dari angin sore dan gambaran lelakinya dari bulan
sempurna. Jenuh dan geramlah perempuan itu dalam menunggu. Ia berusaha ingin
menangkap angin. Karena takut, angin berlari begitu kencang dan berhasil lolos
dari geramnya perempuan itu. Kesal, tidak mendapatkan angin. Perempuan itu
membuat tangga bambu yang sangat tinggi hingga menjangkau bulan. Ia menaiki
anak tangga satu persatu, terus dan terus, naik dan naik, tinggi dan tinggi.
Tiba-tiba dia menengok ke bawah, ke bumi. Diliatnya lelakinya sedang berdua
dengan perempuan lain. Ia sangat kecewa, angin tidak mengabarkan hal demikian
dan bulan tak mengambarkan hal demikian. Ia melanjutkan perjalanan, menapaki
anak tangga yang tersisa. Lalu, tibalah ia di hadapan bulan, ditamparnya bulan
hingga menangis, dan tangisan bulanlah menjelma hujan.
Setelah bercerita
hal demikian, lelaki itu berkata kepada Ana, “itulah sebabnya, jika hendak hujan,
angin berhembus keras. Karena, mereka masih mengingat ketika perempuan itu
memburunya.” Berulang kali Ana diceritakan hal tersebut, namun, Ana tidak
pernah merasakan benih kepercayaan tumbuh terhadap cerita itu. Baginya, dirinyalah
hujan yang sesungguhnya, dan cerita itu hanyalah dongeng yang dibuat-buat untuk
mengambarkan kesetiaan palsunya.
Buktinya, lelaki
itu telah tiada. Ia tidak lagi membuktikan bahwa dirinya siap menjadi benteng
pertahanan untuk Ana terhadap hujan. Ia telah pergi, merantau ke negeri
tetangga. Sebelum kepergiaannya, Lelaki itu menceritakan kembali tangis bulan
yang menjelma hujan kepada Ana, lalu berjanji akan memberi kabar kapan pun dan
apa pun caranya. Namun, hingga kini kabar tentangnya belum juga datang.
Di teras rumah,
Ana bangkit. Ia telah letih mengurai rintik hujan yang telah menjadikannya
manusia. Mengurai hujan, sama halnya mengurai kenangan yang bentuknya seperti
hujan. Berbutir-butir bak selonsongan peluru yang menyerang, tepat di dada. Perih.
Ia beranjak
meninggalkan rumahnya tanpa payung. Ia ingat di sebelah utara kota ada
jembatan, di bawahnya ada sungai yang mengarah ke muara. Ia berjalan menuju
jembatan itu. Sesampainya di jembatan, tanpa pikir panjang, Ana meloncat.
Orang-orang yang melihatnya kaget dan berlari melihat sisi-sisi jembatan.
Menanti Ana, muncul ke permukaan.
Hujan belum juga
berhenti. Air sungai meluap, menjadi banjir dan menghanyutkan beberapa
rumah-rumah warga sekitar. Ana bersamanya. Bersama air, menuju muara, dan menyatu
di lautan. Ombak memukul-mukul keras merayakan kemenangan. Soal rekannya yang
telah kembali. Mereka menunggu hingga matahari bersinar, mengupkannya,
mengembalikan Ana ke rahim awan.
0 komentar:
Posting Komentar